Sampah Antariksa sebagai Isu Internasional

oleh Abdul Rachman, M.Si. Peneliti Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional . Kandidat Doktor Astronomi di University of Bern, Switzerland

Sejak tahun 1994 sampah antariksa (space debris) telah menjadi agenda khusus di Scientific and Technical Subcommitte (STSC) PBB yang bersidang sekali setiap tahun. STSC adalah salah satu dari dua badan tambahan (selain Legal Subcommitte) yang berada di bawah Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (COPUOS). PBB membentuk komite ini pada tahun 1959 untuk mengurusi eksplorasi dan pemanfaatan antariksa demi keuntungan bersama umat manusia yang mencakup perdamaian, keamanan, dan pengembangan. Sidang terakhir STSC adalah sidang ke-57 yang berlangsung pada Februari 2020.

Tapi, apa sih sampah antariksa itu?

Sampah antariksa (space debris atau space junk) seperti yang dimaksud oleh PBB dalam pedoman mitigasi sampah antariksanya pada dasarnya adalah semua benda buatan yang mengorbit Bumi namun tidak memiliki fungsi. Benda-benda ini di antaranya adalah satelit-satelit yang sudah tidak beroperasi lagi karena sudah habis masa kerjanya dan roket-roket yang sudah menjalankan tugasnya mengorbitkan satelit. Untuk gampangnya sebut saja mereka dengan satelit dan roket bekas. Tapi itu hanya sebagian kecil dari populasi sampah antariksa yang sebagian besar berupa serpihan-serpihan kecil yang berasal dari satelit dan roket yang pecah (fragmentation debris). Kenapa pecah?

Ada dua penyebab mengapa satelit atau roket pecah. Pertama karena meledak; kedua karena tertabrak. Ledakan bisa terjadi pada satelit atau roket bekas yang masih menyisakan bahan bakar di tanki atau saluran bahan bakarnya. Ini terjadi jika ada kebocoran atau percampuran komponen-komponen bahan bakar akibat pengaruh lingkungan antariksa terhadap satelit atau roket bersangkutan yang selanjutnya memicu self-ignition. Adapun tabrakan bisa terjadi melalui dua cara: tanpa disengaja dan disengaja. Tabrakan yang tanpa disengaja terjadi jika benda bersangkutan ditabrak oleh benda antariksa lainnya secara alami; tabrakan yang disengaja terjadi jika kejadiannya memang direncanakan.

Apa kontributor terbesar dalam populasi sampah antariksa? Sebelum tahun 2007, kontributor terbesar sampah antariksa adalah serpihan karena ledakan. Akan tetapi setelah itu serpihan akibat tabrakan antara dua benda antariksa mengambil alih status tersebut. Ini terjadi ketika China menembak satelit bekas mereka bernama Fengyun-1C yang mengorbit di ketinggian sekitar 850 km untuk menguji sistem anti satelit mereka pada 11 Januari 2007. Satelit berbobot 960 kg ini pecah berantakan menghasilkan ribuan sampah baru yang tersebar di ketinggian 200 hingga di atas 4000 km. Karena ketinggiannya, hingga kini baru sebagian kecil sampah tersebut yang jatuh ke Bumi dan habis terbakar. Biasanya uji anti satelit yang dilakukan negara lain dilakukan di ketinggian yang cukup rendah sehingga sampah yang dihasilkan tidak terlalu lama mengorbit.

Sampah antariksa juga bisa berupa benda apa saja yang terlepas di antariksa baik yang tidak disengaja maupun disengaja. Yang tidak disengaja seperti sarung tangan astronot, serpihan cat (paint flakes) dan pelindung permukaan (surface coating), dan lain-lain. Yang disengaja adalah yang digolongkan mission related debris yakni sampah yang sengaja dilepaskan saat satelit dibawa oleh roket ke orbit atau selama satelit beroperasi seperti tutup lensa atau teleskop, baut, tanki bahan bakar yang sudah kosong, dan lain-lain. Selain benda-benda yang masih mengorbit Bumi, sampah antariksa juga mencakup benda-benda antariksa yang sedang mengalami reentry di atmosfer.

Mengapa sampah antariksa menjadi isu internasional?

Sampah antariksa menjadi perhatian karena berpotensi mengganggu bahkan merusak satelit (atau apapun wahana antariksa) yang masih beroperasi. Ini dikarenakan kecepatannya yang luar biasa sehingga sampah yang berukuran sangat kecil pun memiliki energi yang cukup besar untuk menimbulkan kerugian. Sampah antariksa bisa bergerak dengan laju mencapai 7 km/detik (25 ribu km/jam). Akibatnya, sampah dengan berat 5 kg memiliki energi yang sebanding dengan sebuah mobil yang bergerak dengan kecepatan 100 km/jam. Dalam sebuah tabrakan antara dua benda antariksa buatan, rata-rata laju relatif antara kedua benda adalah sekitar 11 km/detik (mendekati 40 ribu km/jam). Oleh karena itu tabrakan dengan sampah yang berukuran cukup besar mampu menghancurleburkan sebuah satelit seperti yang terjadi pada 10 Februari 2009. Ketika itu satelit bekas milik Rusia bernama Cosmos 2251 menabrak satelit Iridium 33 milik Amerika Serikat yang masih beroperasi (lihat Gambar 1). Ribuan sampah baru kembali tercipta memperparah polusi di antariksa.

Gambar 1. Ilustrasi saat terjadinya tabrakan antara Iridium 33 dan Cosmos 2251. Sumber: celestrak.com

Sampah yang lebih kecil bahkan berukuran 1 mm pun tetap berpotensi merusak jika menabrak komponen satelit yang sensitif seperti lensa atau panel surya. Salah satu contoh kerusakan akibat sampah berukuran kecil bisa dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Piringan antena Hubble Space Telescope yang di tembusi sampah antariksa berukuran kecil. Sumber: orbitaldebris.jsc.nasa.gov

Tapi, kecepatan saja tidak menceritakan semuanya. Hal yang menjadikan sampah antariksa akhirnya menjadi isu internasional adalah jumlahnya yang terus bertambah. Jika pertambahan ini terus berlangsung maka kepadatan di wilayah orbit tertentu suatu saat akan terlalu tinggi sehingga jika di situ terjadi tabrakan antara dua benda maka serpihan-serpihan yang terjadi akan memicu terjadinya tabrakan yang lain. Pada gilirannya, tabrakan yang lain ini akan memicu tabrakan yang lain lagi. Kejadian ini akan terus berulang sehingga terjadi reaksi berantai tabrakan benda antariksa yang dikenal dengan nama Kessler syndrome. Wilayah orbit yang diperkirakan akan mengalami skenario ini pertama kali adalah wilayah orbit rendah yang berada di ketinggian kurang dari 2000 km.

Jika Kessler syndrome sampai terjadi maka aktivitas keantariksaan bisa terhenti. Satelit-satelit yang sebelumnya beroperasi menjadi rusak/hancur dan di sisi lain tidak ada yang berani meluncurkan satelit baru. Ini akan berdampak nyata pada kehidupan umat manusia saat ini. Kenapa? Karena satelit telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita saat ini. Teknologi berbasis satelit (teknologi antariksa, space technology) ramai digunakan untuk keperluan komunikasi, navigasi, informasi cuaca dan bencana alam, penelitian, keamanan nasional, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Semakin lama semakin banyak negara yang memilik satelit sendiri seperti diilustrasikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Ilustrasi maraknya teknologi antariksa (diwakili oleh gambar roket) di berbagai negara. Sumber: wired.com

Berapa jumlah sampah antariksa saat ini?

Seiring semakin populernya teknologi antariksa di berbagai negara, jumlah benda antariksa buatan pun terus meningkat. Jika kita membatasi pada benda-benda berukuran 10 cm ke atas maka jumlahnya saat ini diperkirakan telah mencapai lebih dari 34 ribu. Sebagian besar benda-benda ini bisa diamati dengan baik sehingga bisa dibuat katalog orbitnya. Benda dalam katalog orbit bisa diproyeksi di mana lokasinya di masa depan sehingga antisipasi bisa dilakukan sekiranya diperkirakan tabrakan akan terjadi. Gambar 4 memperlihatkan perkembangan jumlah benda-benda terkatalog ini. Jelas terlihat pada gambar tersebut besarnya kontribusi kasus Januari 2007 dan Februari 2009. Terlihat juga bagaimana variasi jumlah total benda secara umum mengikuti variasi jumlah serpihan yang mendominasi populasi sampah antariksa. Pengurangan jumlah yang terlihat pada grafik berasosiasi dengan jatuhnya benda-benda yang berada di wilayah orbit rendah ke atmosfer (reentry) secara alami.

Gambar 4. Perkembangan jumlah benda antariksa buatan berukuran di atas 10 cm yang terkatalog. Sumber: Orbital Debris Quaterly News, Vol 24, Issue 1.

Bagaimana jika memperhitungkan benda-benda kecil di luar katalog? Hingga Februari 2020, jumlah benda yang ukurannya antara 1 hingga 10 cm diperkirakan sebanyak 900 ribu. Adapun benda berukuran antara 1 mm hingga 1 cm diperkirakan sebanyak 128 juta. Jumlah benda-benda kecil ini diketahui dari pengukuran dengan menempatkan sensor di luar angkasa (in situ measurement) dan pemodelan. Dilihat dari ukurannya, sampah berukuran antara 1 hingga 10 cm lah yang paling mengkhawatirkan. Kenapa? Karena mereka ini cukup kecil sehingga tidak bisa diamati dengan baik untuk dimasukkan ke dalam katalog orbit sementara di sisi lain mereka cukup besar sehingga masih memiliki daya rusak yang tinggi.

Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan gangguan sampah antariksa?

Pada dasarnya ada dua cara yang bisa dilakukan. Cara pertama, melalui pembuatan seperangkat pedoman mitigasi yang pembahasannya sudah dimulai sejak tahun 1980an. Sejauh ini beberapa negara dan organisasi telah menempuh cara ini diantaranya Amerika Serikat, Rusia, Jepang, dan European Space Agency (ESA). PBB pun membuat pedoman sendiri untuk secara sukarela diimplementasikan oleh negara-negara anggotanya. Pedoman ini berdasarkan pedoman-pedoman yang sudah dikembangkan oleh berbagai negara dan organisasi dengan memperhitungkan perjanjian-perjanjian dan prinsip-prinsip PBB di bidang antariksa.

Pedoman mitigasi sampah antariksa PBB (UN Space debris mitigation guidelines) pada dasarnya berisikan sederetan pedoman untuk membatasi terbentuknya sampah baru. Beberapa pedoman terkait dengan desain satelit dan roket (atau wahana lain) yang bisa meminimalkan terbentuknya sampah baru. Pedoman lain terkait komitmen untuk menghindari tindakan-tindakan yang merugikan (termasuk penghancuran secara sengaja dengan sistem anti satelit) dan pemindahan atau pembuangan wahana yang berakhir masa operasinya (post mission disposal) sehingga tidak berbahaya bagi satelit-satelit yang masih aktif.

Namun, studi teoritis yang dilakukan sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa mitigasi (pencegahan) saja tidak cukup untuk menstabilkan pertumbuhan jumlah sampah antariksa.  Jumlah tersebut akan terus meningkat bahkan sekalipun peluncuran satelit baru dihentikan (yang adalah mustahil terjadi). Oleh karena itu perlu dilakukan cara kedua yakni dengan melakukan remediasi (pengobatan) pada populasi sampah antariksa. Caranya dengan mengambil sampah (khususnya di orbit rendah) yang menjadi target untuk dijatuhkan ke Bumi. Dibandingkan dengan cara pertama, cara kedua ini bersifat lebih nyata dan tegas sehingga dinamakan juga active debris removal (ADR). Sudah banyak metode yang diusulkan untuk melakukan misi ADR misalnya dengan menggunakan satelit khusus yang memiliki lengan robotik untuk menangkap sampah yang ditarget lalu menariknya ke atmosfer. Metode lain menggunakan jaring yang dilemparkan ke target untuk membungkusnya selanjutnya satelit yang terhubung dengan tali (tether) menariknya ke atmosfer (Gambar 5). Namun, berbeda dengan mitigasi sampah antariksa yang sudah berjalan selama puluhan tahun, hingga kini remediasi masih dalam tahap percobaan.

Gambar 5. Ilustrasi remediasi dengan menggunakan jaring dan tali untuk menjatuhkan sampah antariksa. Sumber: esa.int.

Mitigasi sampah antariksa sudah memberikan banyak hasil. Ini tampak dari jumlah mission-related debris yang cenderung tetap sejak tahun 1986 kendati jumlah satelit terus bertambah (lihat Gambar 4). Hal ini memberikan indikasi bahwa pedoman terkait perbaikan desain satelit dan roket (atau wahana lain) telah cukup dipatuhi. Demikian juga telah diperoleh data bahwa pedoman untuk melakukan post mission disposal bagi satelit-satelit yang telah berakhir masa operasinya telah dijalankan oleh banyak negara. Oleh karenanya, anti satellite test yang terjadi pada Januari 2007 yang nyata berseberangan dengan pedoman mitigasi sehingga menghasilkan ribuan sampah baru yang lama mengorbit banyak dikecam oleh dunia internasional.

Meskipun remediasi belum benar-benar dilakukan namun telah diperoleh beberapa kemajuan dari beberapa proyek. Salah satunya adalah proyek ClearSpace-1 yang dilakukan oleh perusahaan startup Swiss bernama ClearSpace yang menargetkan untuk melakukan misi ADR pada 2025 di bawah dukungan Lembaga Antariksa Eropa (European Space Agency, ESA). Sampah yang ingin dijatuhkan adalah VESPA (Vega Secondary Payload Adapter) milik ESA yang digunakan untuk membawa satelit Proba-V ke orbit pada tahun 2013. Satelit pemburu akan diluncurkan dan diarahkan ke target untuk menangkapnya memakai lengan robotik di bawah pengawasan ESA. Keduanya (satelit pemburu dan VESPA) akan bersama-sama reentry ke atmosfer dan terbakar di sana.

Proyek lain yang memberikan prestasi yang cukup mengagumkan adalah RemoveDEBRIS. Tapi proyek yang dipimpin oleh Surrey Space Centre dari University of Surrey di Inggris ini tidak menargetkan sampah yang sebenarnya seperti halnya ClearSpace-1. Misi ini menguji efektivitas beberapa metode ADR dengan target berupa satelit cubesat (satelit kecil berukuran 10 cm x 10 cm x 10 cm) yang dibawa sendiri dalam misi tersebut. Metode atau teknologi yang diuji adalah jaring (net), vision-based navigation (VBN), harpoon, dan dragsail. Satelit RemoveDEBRIS, yang membawa 2 cubesat dan teknologi-teknologi yang ingin diujinya, diluncurkan pada 2 April 2018. Percobaan teknologi jaring berhasil dilakukan pada September 2018, VBN pada Oktober 2018, dan harpoon pada Februari 2019. Adapun percobaan teknologi dragsail masih mengalami kegagalan.

Remediasi sampah antariksa lebih sulit daripada mitigasi. Setiap konsep yang ditawarkan untuk ADR bukan hanya harus layak secara teknis tapi juga terjangkau secara ekonomi dan bisa diterima secara politis bagi masyarakat internasional. Aspek politis penting diperhitungkan karena kemampuan mengambil sampah bisa disalahgunakan dengan secara diam-diam mengambil satelit pihak lain.

Apa peran yang sudah dan bisa dilakukan bangsa kita?

Indonesia saat ini memiliki 18 buah satelit yang mengorbit Bumi di orbit geostasioner (GSO, di atas 30 ribu km) maupun rendah (di bawah 2000 km). Di antara 18 satelit tersebut, 9 di antaranya adalah sampah berukuran besar yang delapan di antaranya berada di GSO. Terkait mitigasi sampah antariksa, berdasarkan pengetahuan penulis operator-operator satelit GSO Indonesia selalu memperhitungkan dan melakukan post mission disposal di akhir operasi satelit-satelitnya. Jika diperiksa ketinggian sampah-sampah tersebut, akan kita dapati bahwa nilainya cukup jauh di luar orbit operasional.

Tiga di antara satelit-satelit Indonesia yang saat ini mengorbit adalah buatan anak-anak bangsa. Ketiganya adalah satelit mikro yang mengorbit di bawah ketinggian 700 km dengan fungsi yang berbeda-beda. Satelit yang pertama adalah LAPAN-TUBSAT yang diluncurkan pada 10 Januari 2007; yang kedua adalah LAPAN-A2 diluncurkan pada 28 September 2015; dan yang ketiga adalah LAPAN-A3 yang diluncurkan pada 22 Juni 2016. Seiring dengan meningkatnya kemampuan bangsa kita dalam membuat satelit, terbuka peluang untuk berkontribusi dari sisi desain wahana untuk mitigasi bahkan remediasi sampah antariksa di masa depan.

Dari sisi pengamatan, hingga kini kita memang sepenuhnya masih mengandalkan data dari pihak luar. Data ini digunakan untuk menganalisis suatu peristiwa tabrakan antar benda buatan untuk mengetahui detil kejadian dan potensi dampaknya pada satelit-satelit Indonesia. Demikian juga jika terjadi peristiwa benda jatuh antariksa buatan. Dalam hal ini analisis dilakukan untuk mengindentifikasi benda yang sudah jatuh dan untuk mempelajari kemungkinan apakah suatu benda yang sedang mengalami proses reentry akan jatuh di wilayah Indonesia atau bukan.

Saat ini Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung dan Pemerintah Kabupaten Kupang sedang membangun Observatorium Nasional di Kupang. Selain untuk pengamatan benda-benda alami, observatorium ini juga diharapkan mampu melejitkan kemampuan kita dalam pengamatan sampah antariksa.  Beberapa teleskop optik khusus untuk pengamatan sampah antariksa dan Near Earth Objects (NEO) akan ditempatkan di sana. Peluang kerjasama dengan negara lain yang telah maju dalam pengamatan sampah antariksa pun menjadi lebih terbuka.

https://deuchtabs.org/diabetes/index.html